Seminar Akadmik STT Sola Gratia Indonesia, dilaksanakan pada 24 Februari 2023, dengan Tema “Konsep Selibat dan Tinjauan Teologisnya”. Acara ini diikuti oeh seluruh civitas akademika STT sola Gratia Indonesia. Nara Sumber pada seminar adalah Thomas Bedjo Oetomo, M.Mis yang adalah Ketua STT Sola Gratia Indonesia. Sebagai Moderator adalah Sozanolo Hia, S.Ag., yang memandu acara pemaparan materi seminar menyampaikan kurikulum vitae nara sumber bahwa nara sumber juga Dosen Tetap STT Sola gratia Indonesia dan Dosen Luar Biasa di Universitas Surabaya. Nara sumber memaparkan demikian
Pada setiap agama selalu ada dua pembagian besar dalam peribadatan. Golongan rohaniwan, begitu orang awan menyebut, dan kelompok umat. Rohaniwan adalah “orang yang mementingkan kehidupan kerohanian daripada yang lain; orang yang ahli dalam hal kerohanian.” “Rohaniwan atau rohaniman” adalah istilah jamak yang disematkan dan dipergunakan untuk menggambarkan posisi kepemimpinan resmi dalam suatu agama tertentu, terutama bagi agama Kristen dan Katolik. Di kalangan umat Kristen disebut sebagai “pendeta” atau “gembala sidang”, sedangkan di lingkungan Katolik disebut “klerus” atau para imam. Tergantung dari agamanya, pemimpin rohani umummya melaksanakan tugas-tugas ritual agamawi. Apakah itu mengajar, yaitu mensiarkan tuntunan dasar-dasar keyakinan atau praktik-praktik keagamaan. Sedangkan kelompok umat adalah “para penganut (pemeluk, pengikut) suatu agama; penganut nabi.” Sebutan dalam agama Kristen adalah jemaat. Jemaat adalah “sehimpunan umat atau jemaah.” Jemaat juga dapat diartikan, “suatu perkumpulan terdiri dari orang-orang beriman yang berbakti kepada Tuhan (Kis.7:38; Mat.16:18). Jemaat dalam konteks “ekklesiologi” dapat ditinjau dalam dua segi pemandangan dalam Perjanjian Baru yang “invisible” (Ibr.12:23), dan yang “visible” (Kol.1:24; 1 Tim.3:5).” Untuk menjadi seorang pemimpin rohani dalam suatu agama tertentu, pasti ada sejumlah persyaratan yang dipenuhi. Baik itu persyaratan kerohanian, keakademisan dan keorganisasian. Tak terkecuali, jika seseorang terpanggil menjadi rohaniwan Kristen atau Katolik. Sebagai contoh, apabila seseorang menjadi pemimpin rohani Kristen, dalam lingkup organisasi Gereja Bethel Indonesia (GBI), untuk diangkat menjadi “Pejabat Gereja Bethel Indonesia”, dalam Tata Gereja Bethel Indonesia Bab II Pasal 15 dan 16, maka harus memenuhi sejumlah persyaratan: Pasal 15 Pejabat Gereja Bethel Indonesia. Pejabat Gereja Bethel Indonesia terdiri dari: Pendeta yang disingkat Pdt, Pendeta Muda yang disingkat Pdm dan Pendeta Pembantu yang disingkat Pdp; pria atau wanita yang diberi karunia rohani (jawatan): kerasulan, kenabian, penginjilan, penggembalaan dan keguruan yang membangun jemaat. Pasal 16 Persyaratan untuk menjadi pejabat Gereja Bethel Indonesia: (1) Penuh dengan Roh Kudus sesuai dengan Firman Tuhan (Kis. 2:1-4; 8:14-17; 10:44-47; 19:1-7 dan Ef. 5:18). (2) Hidup kudus sesuai dengan Firman Tuhan (1 Tim. 3:1-7; Tit. 1:7-9; Gal. 5:22-24 dan 1 Kor. 13:1-13). (3) Mempunyai panggilan dan karunia rohani (jawatan) sebagai rasul, nabi, penginjil, gembala, guru (Ef. 4:11; Rm. 12:6-8; 1 Kor. 12:29- 30). (4) Menyerahkan salinan Surat Nikah dan mempunyai kehidupan nikah yang tidak bercela (Im. 21:7; Mat. 5:31-32; 19:6-9; Luk. 16:18). (5) Mempunyai pengetahuan Alkitab dan pengetahuan umum melalui pendidikan yang cukup (Kol. 3:16; 1 Tim. 3:2; 4:11). (6) Memahami dan mentaati Pengakuan Iman, Pengajaran dan tata gereja Gereja Bethel Indonesia.” Secara garis besar, ada empat syarat utama untuk menjadi rohaniwan Gereja Bethel Indonesia. Memiliki kriteria rohani seperti yang tercantum dalam 1 Timotius 3:1- 7 dan Titus 1:7-9, memenuhi kompetensi akademis minimal lulusan Sekolah Alkitab, memiliki hidup pernikahan yang tak bercacat, serta menerima azas dasar pengajaran GBI serta ketentuan organisasi. Lain lagi persyaratan yang ditetapkan oleh organisasi gereja Katolik, jika seseorang akan menjadi rohaniwan. Menjadi seorang imam adalah merupakan panggilan khusus, oleh karenanya untuk menjadi seorang imam pun ada syarat[1]syarat khusus yang harus dipenuhi. Syarat untuk menjadi seorang imam antara lain: 1).Seorang pria normal yang telah menerima inisiasi Katolik; 2). Belum dan tidak akan beristri seumur hidup; 3). Menyelesaikan Pendidikan filsafat, teologi, moral, dan hukum gereja (Pendidikan Seminari yaitu Pendidikan bagi calon imam); 4). Seorang yang ingin menjadi imam harus sehat secara jasmani dan rohani; 5). Mempunyai hidup rohani yang baik serta memiliki motivasi dan cita-cita yang kuat untuk menjadi imam. Imam/biarawan/biarawati mengucapkan 3 kaul, yaitu kaul ketaatan, kaul kemiskinan, dan kaul kemurnian. Ketiga kaul ini diucapkan dan diatati oleh para imam, biarawan/biarawati agar pelayanan yang dijalankan dapat dijalankan secara penuh dan secara total. Para imam memiliki tugas pokok yaitu ikut ambil bagian dalam tri tugas Yesus sebagai raja, nabi, dan imam yaitu mengajar, menguduskan, dan memimpin. Secara umum ada kesamaan syarat antara calon rohaniwan Kristen dan Katolik. Kesamaan standart akademis, religiusitas dan spiritualitas, serta bersedia tegak lurus kepada statuta gereja. Namun ada perbedaan yang tajam di antara persyaratan menjadi pimpinan umat Kristen dengan Katolik. Di dalam lingkungan Katolik, seorang imam harus bersedia hidup “berselibat” dan mengucapkan serta mempraktekkan “kaul ketaatan, kaul kemiskinan, dan kaul kemurnian.” Hidup sebagai “selibater” menjadi prasyarat utama, sebelum syarat-syarat lain terpenuhi. Tertuang dalam “Kitab Hukum Kanonik 247:1; 277:1; 559; 1037” bahwa: Hendaknya mereka dipersiapkan dengan pendidikan yang sesuai untuk menghayati status hidup selibat, dan belajar menghargainya sebagai anugerah istimewa dari Allah (247:1). Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan selamanya demi kerajaan surga, dan karena itu terikat selibat yang merupakan anugerah istimewa Allah; dengan itu para pelayan suci dapat lebih mudah bersatu dengan Kristus dengan hati tak terbagi dan membaktikan diri lebih bebas untuk pelayanan kepada Allah dan manusia (277:1). Nasihat injili kemurnian yang diterima demi kerajaan Alla, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat (559). Calon untuk diakonat permanen yang tidak beristri, demikian pula calon untuk tahbisan presbiterat, jangan diizinkan untuk menerima diakonat, kecuali secara publik di hadapan Allah dan gereja menurut upacara yang sudah ditetapkan, telah menerima kewajiban selibat, atau sudah mengucapkan kaul kekal dalam tarekat religius. ” Bertarak hidup tanpa seksual, menjadi suatu indikator penentu, seseorang bisa ditahbiskan menjadi seorang rohaniwan Katolik. Sebelum dan sesudah dilantik menjadi klerikus, mereka harus tetap tidak menikah seumur hidup. Selibat adalah merupakan pertarakan sempurna yang dianugerahkan Allah dan demi kerajaan Allah. Jika dibandingkan dengan persyaratan menjadi rohaniwan Kristen, maka justru sebaliknya, bahwa seorang pemimpin jemaat itu harus memiliki kehidupan nikah yang tidak tercela. Baik Kristen dan Katolik tentu menggunakan pijakan Alkitab, teladan Yesus Kristus dan para rasul, dalam menentukan syarat-syarat untuk menjadi pemimpin rohani. Pertanyaan besar layak diajukan, atas dasar apakah di kalangan Katolik, mensyaratkan hidup berselibat bagi para klerus? Apakah mengacu pada kehidupan Yesus dalam Injil-injil dan para rasul dalam kitab-kitabnya? Ataukah ada benang merahnya dengan gaya hidup kaum Eseni, yang terjadi di masa intertestamental? Kalu memang dugaan itu benar, mengapa hal tersebut tidak disyaratkan juga di kalangan Kristen?
Aturan selibat gereja Katolik bukanlah kesinambungan hidup selibat kaum Eseni, di masa intertestamental. Demikian juga bukanlah perintah Alkitab, baik itu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Imam-imam pelayan Bait Allah adalah orang[1]orang yang menikah, memiliki isteri dan keturunan. Begitu pula murid-murid Tuhan Yesus adalah orang-orang yang tidak bertarak aktifitas seksual. Bahkan pada gereja mula-mula, seorang rohaniwan haruslah memiliki kehidup rumah tangga yang terhormat. Suami dari seorang isteri dan bapak dari anak-anak mereka. Jika ada orang-orang yang memang terpanggil untuk hidup melajang, sebaiknya hal itu dilakoni karena memang pilihanya sendiri secara manasuka, bukan karena aturan gereja yang melampaui hukum Taurat
Pelaksanaan seminar yang diikuti oleh 40 orang perserta secara onsite, dan berlangsung dengan baik. Pimpinan dan dosen STT Sola Gratia juga turut hadir menyimak dengan serius pemaparan dari nara sumber.
Untuk menelusuri materi seminar bisa membuka link: https://e-journal.sttsgi.ac.id/index.php/jmc/article/view/22